PENDAFTARAN

BERITA

BERITA

Jalan Berliku Korps Baret Merah

Rabu, 16 April 2008 | 00:45 WIB

Wisnu Dewabrata
Usia Negara Kesatuan Republik Indonesia masihlah terbilang sangat muda ketika pertama kali Kesatuan Komando Teritorium III, cikal bakal Korps Baret Merah, pertama kali digagas untuk kemudian dibentuk.


Pada 16 April 1952, Panglima Teritorium III (sekarang Kodam III/Siliwangi) Kolonel AE Kawilarang mengeluarkan instruksi menggelar pendidikan komando angkatan pertama, dipimpin Mayor Mochamad Idjon Djanbi sebagai komandan pertama.
Mengutip buku Ken Conboy, Kopassus, Inside Indonesia’s Special Forces, Djanbi dikisahkan sebagai seorang warga negara Belanda bernama asli Rokus Bernardus Visser, mantan tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), yang pernah bergabung dalam korps pasukan khusus saat Perang Dunia II.
Pendidikan komando pertama itu diikuti 400 siswa dan digelar sebagai kelanjutan ide komandan operasi Kawilarang, Letkol Slamet Riyadi, yang sebelumnya merasa prihatin terhadap tingginya jumlah korban jiwa prajurit TNI yang jatuh setiap operasi penumpasan gerakan pemberontak.
Berbagai aksi sporadis pemberontakan memang terbilang ”lazim” ketika itu, saat usia republik ini masih terbilang sangat muda. Sebut saja pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon, gerakan Andi Azis di Sulawesi Selatan, dan pemberontakan APRA di Jawa Barat.
Dari sejumlah pertempuran, tampak keberadaan pasukan berkekuatan dan berkelengkapan yang lebih besar tidak selalu menjadi jaminan keberhasilan operasi.
Tidak jarang jumlah pasukan yang lebih besar harus menghadapi kegagalan saat berhadapan dengan pasukan pemberontak yang terdiri dari unit-unit pasukan yang lebih kecil.
Selain jauh lebih efisien dalam bertempur, pasukan pemberontak RMS saat itu juga bahkan memiliki sejumlah penembak tepat yang mampu bergerak secara perorangan.
Dengan pertimbangan pengalaman itu, Slamet Riyadi dan AE Kawilarang merasa perlu membentuk satuan pemukul yang fleksibel serta dapat diterjunkan ke berbagai kondisi medan pertempuran secara tepat dan efisien.
Bayang-bayang prestasi
Dalam perjalanan sejarahnya, Korps Baret Merah, yang sempat beberapa kali berganti nama, berhasil menorehkan sejumlah prestasi, terutama dalam aksi- aksi penumpasan gerakan pemberontak di berbagai kawasan di Indonesia.

Sebut saja operasi penumpasan DI/TII di Jawa Barat, PRRI di Sumatera, operasi pembebasan dan perebutan sejumlah kota seperti Pekanbaru, Tapanuli, dan Padang. Tidak hanya itu, dalam beberapa operasi pembebasan sandera, Kopassus juga mampu mencatat prestasi yang membanggakan.
Salah satu operasi Kopassus yang terbilang fenomenal ialah operasi pembebasan sandera pembajakan pesawat DC-9 Garuda ”Woyla”, yang terjadi di Bandara Don Muang, Thailand, tahun 1981. Selain itu, juga operasi pembebasan sandera Organisasi Papua Merdeka di Mapenduma, Papua.
Di bidang lain, Kopassus juga turut menorehkan prestasi membanggakan saat Tim Nasional Indonesia ke Puncak Everest berhasil mengibarkan Merah Putih di Puncak Everest (8.848 meter) akhir April 1997. Dengan begitu, Indonesia tercatat sebagai negara Asia Tenggara pertama yang berhasil mencapai Puncak Everest (Kompas, 27 April 1997).
Sayangnya, sejumlah prestasi membanggakan itu terkesan tenggelam dan menghilang begitu saja ketika Tim Mawar Kopassus didakwa dan belakangan dijatuhi hukuman karena diduga terkait dengan pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan aktivis sepanjang tahun 1997.
Seperti diwartakan Kompas, 11 anggota Tim Mawar Kopassus dijatuhi hukuman 12-22 bulan penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta. Empat perwira, selain dihukum, juga dipecat dari dinas kesatuan TNI (Kompas, 16 Mei 2007).
Rambu HAM
Saat ditemui di ruang kerjanya di Markas Komando Kopassus, Cijantung, Jakarta, Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Soenarko menyatakan, pihaknya menilai semua peristiwa yang terjadi di masa lalu akan dijadikan sebagai bahan referensi dan catatan sehingga tidak lagi terulang di masa mendatang.
”Kalau semua itu memang tidak benar, ya tentunya akan menjadi pelajaran agar tidak lagi terulang. Akan tetapi, kalau menurut saya, apa-apa yang dilakukan di masa lalu kan dalam konteks melaksanakan tugas negara,” ujar Soenarko.
Lebih lanjut ia menambahkan, beberapa waktu belakangan ini Kopassus telah melengkapi materi pendidikan dan pembinaan yang diberikan dengan materi-materi terkait masalah hukum dan HAM, terutama terkait rambu-rambu mana saja yang dapat atau dilarang dilakukan di dalam pelaksanaan tugas.
”Kami selalu berkoordinasi dengan Babinkum TNI dan juga bahkan dari pihak luar, seperti ICRC (Komite Internasional Palang Merah). Kami juga mempelajari soal Konvensi Geneva dan hukum humaniter, terutama soal apa yang boleh maupun tidak boleh dilakukan dalam konflik terbuka,” ujar Soenarko.
Pembatasan anggaran
Tidak hanya terkait beban masa lalu, Kopassus, seperti juga dialami seluruh kesatuan lain di tubuh TNI, masih harus menghadapi persoalan berat lain, terutama terkait keterbatasan alokasi anggaran untuk belanja pertahanan dari pemerintah.
Padahal, sesuai dengan spesifikasinya sebagai pasukan khusus, Kopassus dipastikan juga memiliki berbagai kebutuhan, mulai dari perlengkapan, persenjataan, logistik, dan keperluan latihan yang bersifat khusus.
Soenarko mengakui, keterbatasan anggaran menimbulkan persoalan terkait dengan semua kebutuhan itu.
”Memang beberapa jenis persenjataan yang kami punya ada yang sudah relatif berusia tua dan ketinggalan dengan perkembangan teknologi senjata yang ada. Akan tetapi, senjata yang kita punya sekarang tidak terlalu jauh ketinggalanlah dengan negara tetangga,” ujarnya.
Saat ini pihaknya bahkan telah menggunakan senjata produksi dalam negeri, varian terbaru SS2 buatan PT Pindad sebagai senjata standar prajurit Kopassus.
Senjata itu, menurut dia, bisa diandalkan karena telah terbukti beberapa kali menang saat dipakai dalam lomba menembak di tingkat internasional.
Terkait dengan kebutuhan anggaran untuk latihan serta pendidikan, Soenarko mengaku tidak ada pengurangan alokasi anggaran. Menyangkut kerja sama latihan dengan negara lain, program-program pertukaran dan pelatihan seperti itu tetap terus berjalan, terutama dengan sejumlah negara tetangga.
”Boleh jadi secara teknologi persenjataan kami masih kekurangan. Akan tetapi, kami tetap terus berupaya meningkatkan kesiapan personel sehingga sewaktu-waktu alatnya ada, mereka sudah menguasai,” lanjut Soenarko.
Jati diri
Sepertinya memang dibutuhkan upaya yang kuat untuk mengembalikan fungsi serta peran TNI, termasuk Kopassus, sebagai alat negara di bidang pertahanan. Yaitu, alat pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya didasari pada kebijakan dan politik negara.
Dengan begitu, di masa depan diharapkan tidak akan ada lagi institusi maupun prajurit TNI yang ”dimanfaatkan” untuk kepentingan tertentu, baik secara politik maupun ekonomi, seperti terjadi di masa lalu.
Sudah saatnya mengembalikan TNI, termasuk Kopassus, ke jati dirinya sebagai tentara pejuang, tentara rakyat, serta tentara yang profesional. Kembali menjadi tentara yang mencintai dan dicintai segenap rakyat Indonesia.
Dirgahayu ke-56 Komando Pasukan Khusus.
(SUMBER: KOMPAS.COM)

No comments:

Post a Comment

banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box
 

Followers